Waters of Life

Biblical Studies in Multiple Languages

Search in "Indonesian":
Home -- Indonesian -- Matthew - 171 (Order of True Marriage)
This page in: -- Arabic -- Armenian -- Azeri -- Bulgarian -- Chinese -- English -- French -- Georgian -- Hausa -- Hebrew -- Hungarian? -- Igbo -- INDONESIAN -- Javanese -- Latin? -- Peul? -- Polish -- Russian -- Somali -- Spanish? -- Telugu -- Uzbek -- Yiddish -- Yoruba

Previous Lesson -- Next Lesson

MATIUS - Bertobatlah, Kerajaan Kristus Sudah Dekat!
Belajar dari Injil Kristus menurut Matius
BAGIAN 3 – Pelayanan Yesus di Lembah Yordan dalam Perjalana nya ke Yerusalem (Matius 19:1 - 20:34)

1. Perintah tentang Perkawinan yang Benar (Matius 19:1-6)


MATIUS 19:1-6
1 Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. 2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana. 3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" 4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
(Kejadian 1:27, Markus 10:1-12, 1 Korintus 7:10-11)

Setelah membahas mengenai pokok kesombongan dan perpecahan di dalam gereja, Yesus membicarakan mengenai perintah perkawinan. Bagi kita orang-orang Kristen, perkawinan adalah sumber dari berkat yang senantiasa mengalir kalau kedua belah pihak di dalamnya tinggal di dalam Kristus. Seorang pria dan wanita Kristen masuk ke dalam perkawinan seturut dengan perintah Allah, bukan untuk mencari keuntungan uang, atau penghargaan, atau kecantikan atau kesenangan, atau untuk menyamakan diri dengan keadaan saudara-saudaranya. Namun mereka membangun sebuah kesatuan dalam pertolongan Roh Kudus dan bisa berdoa bersama-sama. Kemudian mereka bisa hidup bersama dalam kebahagiaan seolah-olah mereka berada di surga, karena kasih Allah merespons kepada mereka dengan memberikan banyak berkat.

Allah tidak merancang untuk adanya poligami dalam bentuk apapun tetapi menciptakan satu perempuan untuk satu laki-laki. Monogami melambangkan kesatuan hati. Sangat mustahil untuk membagi kasih menjadi bagian-bagian kecil. Tidak akan pernah ada keharmonisan ataupun kedamaian kalau seorang laki-laki mengasihi dan mengawini beberapa perempuan.

Kita melihat di dalam diri sahabat Allah, Abraham, contoh dari kehidupan yang tidak berbahagia ketika ia mengawini perempuan kedua sebagai tambahan untuk istrinya yang pertama. Dendam, tipu daya, penderitaan, dan air mata bertambah sebagai akibat dari hal itu.

Meskipun Hukum Musa memang mengijinkan perceraian karena alasan yang benar, ada yang melihat adanya pertentangan di antara orang-orang Farisi. Mereka ingin tahu apa penjelasan Kristus mengenai hal itu. Persyaratan berkaitan dengan perceraian sudah menjadi sangat banyak dan kadangkala berbelit-belit dan membingungkan. Semua itu dibuat demikian bukan oleh hukum Allah, tetapi berdasarkan hawa nafsu dan kebodohan manusia. Seringkali dalam kasus-kasus yang terjadi, manusia sudah memutuskan, sebelum mereka bertanya, tentang apa yang akan dilakukan.

Pertanyaan mereka adalah, “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja? Bisakah alasan apapun yang timbul dalam pikiran seseorang, meski tidak jelas, didasarkan oleh rasa tidak suka atau tidak senang bisa menjadi alasan untuk perceraian? Pembiaran itu, dalam hal ini, memungkinkan ketika, “kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya” (Ulangan 24:1). Hal ini mereka tafsirkan secara sangat luas sehingga menjadikan pelanggaran apa saja, meski tidak ada penyebabnya, sebagai alasan untuk perceraian.

Pertanyaan itu diajukan untuk menjebak Kristus, karena, merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan hati nurani, dan sangat sulit, Ia memberikan jawaban yang penuh akan pertanyaan ini. Dalam jawaban-Nya terhadap pertanyaan mereka Ia menjelaskan banyak prinsip yang membuktikan bahwa perceraian yang dibuat secara sembrono, yang sering dilakukan saat itu, sama sekali tidak sesuai dengan hukum.

Untuk membuktikan adanya ikatan yang kuat antara seorang laki-laki dengan isterinya, Kristus menasehatkan tiga hal:

Pengetahuan Alkitab berkaitan dengan penciptaan Adam dan Hawa, “Tidakkah kamu baca?” Kamu sudah membacanya (tetapi tidak mau memahaminya), “bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (Kejadian 1:27; 5:2). Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan; satu laki-laki dan satu perempuan sehingga Adam tidak bisa menceraikan isterinya dan mengambil perempuan lain, karena memang tidak ada perempuan lain. Demikian juga persekutuan yang intim dan tak terpisahkan di antara mereka. Hawa merupakan tulang rusuk Adam, sehingga Adam tidak bisa membuangnya. Hawa adalah bagian dari dirinya, “daging dari dagingku,” dalam penciptaannya.

Hukum yang sangat mendasar mengenai perkawinan adalah “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” Hubungan antara suami dengan isterinya adalah lebih dekat dibandingkan dengan hubungan antara orang tua dan anak. Lalu, kalau hubungan antara orangtua dan anak tidak bisa dihancurkan, lebih lagi kemungkinan dihancurkannya hubungan perkawinan. Mungkinkah anak memutuskan hubungan dengan orangtua, atau orangtua dengan anak, untuk sebab apapun, untuk sebab tertentu? Tidak, tidak bisa. Lebih lagi seorang suami tidak bisa meninggalkan isterinya, karena hubungan itu lebih dekat dan ikatan kesatuannya lebih kuat dibandingkan dengan hubungan orangtua dengan anak. Hubungan orangtua dengan anak dikalahkan oleh hubungan perkawinan ketika seorang laki-laki harus meninggalkan orangtuanya untuk bersatu dengan isterinya.

Hakekat dari perkawinan adalah kesatuan dari dua pribadi, “dan keduanya menjadi satu daging.” Anak-anak dari seorang laki-laki adalah bagian dari dirinya, tetapi isterinya adalah dirinya sendiri. Hubungan kesatuan antara suami isteri itu lebih dekat dibandingkan dengan hubungan antara orangtua dengan anak, hubungan itu setara dengan hubungan antara anggota-anggota tubuh seseorang. Sebagaimana hal ini menjadi alasan bagi seorang suami untuk mengasihi isterinya, demikianlah sebabnya sehingga mereka tidak bisa meninggalkan isterinya, “Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri,” dan kemudian meninggalkannya, “tetapi mengasuhnya dan merawatinya.” (Efesus 5:29). Ia melakukan segala yang bisa dilakukannya untuk memeliharanya. “Dan keduanya menjadi satu daging,” dan karena itu hanya ada satu isteri, karena Allah menciptakan satu Hawa untuk satu Adam (Maleakhi 2:15). Dari sini Ia melanjutkan, “Apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh dipisahkan oleh manusia.”

Kalau anda, pemuda yang belum menikah, mintalah kepada Tuhan untuk mempertemukan anda dengan pemudi yang percaya kepada Kristus, yang rajin beribadah, bisa merasa cukup dan rendah hati, yang menemukan di dalam Alkitab kekuatan setiap hari yang memampukannya untuk bersabar terhadap anda dengan ketekunan dan panjang sabar. Iman bersama kepada sang Juruselamat adalah dasar yang kuat untuk keluarga yang sehat untuk mengalahkan masalah kehidupan yang akan datang.

Seorang pemudi, jangan sampai membiarkan diri jatuh ke dalam cobaan dan hubungan seks sebelum menikah, dan berpikir bahwa hal yang demikian akan mempercepat pernikahan. Ini pandangan yang salah. Sayangnya, kita bisa melihat hal yang demikian dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Kristen. Seorang pemudi haruslah meminta kepada Allah untuk seorang suami yang akan mengasihinya sebagaimana Kristus mengasihi jemaat. Kalau hal itu terpenuhi, maka Tuhan akan memberikan kepada perkawinan itu kesatuan yang lebih tinggi dan lebih baik daripada hanya sekedar hubungan daging.

Kita tidak menikah untuk memuaskan hawa nafsu kita tetapi untuk bisa saling melayani di dalam kasih. Di dalam perjanjian perkawinan, kedua belah pihak harus hidup saling mengampuni, yang berasal dari kasih Allah. Inilah rahasia dari kehidupan keluarga yang diberkati. Anggota keluarga yang paling kuat adalah dia yang pertama-tama menguasai kemarahannya sendiri dan meminta maaf kepada pasangannya dengan lemah lembut, bukan dengan wajah yang cemberut.

Kasih tidak menunjukkan kelemahan. Kalau salah satu di antara pasangan itu bersalah, malas, boros, memanjakan anak, atau memperlakukan mereka dengan kasar, pasangannya harus berdoa dengan sabar dan bersaksi dengan rendah hati kepada pihak yang bersalah. Harus diingat bahwa firman Kristus yang menguasai pasangan itu dan tujuan mereka, sebagaimana dikatakan-Nya, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33). Kalau pasangan itu sama-sama menyerahkan tubuh mereka sebagai persembahan yang hidup, yang hidup dan berkenan kepada Kristus, Roh Kudus, maka nilai-nilai yang baik dan damai sejahtera akan bisa dirasakan di dalam perkawinan mereka.

DOA: Bapa Surgawi, kami bersyukur kepada-Mu atas anugerah perkawinan di bawah tuntunan Roh Kudus-Mu. Engkau mengangkat kami dari tingkat kecemaran kepada persekutuan secara jasmani dan rohani di dalam kebenaran, menikah dengan sesama orang percaya sehingga kami bisa hidup di dalam kekudusan, untuk mengasihi, melayani dan saling percaya dengan setia. Berikanlah kepada keluarga-keluarga Kristen kemampuan untuk menyatakan kesaksian yang jelas mengenai kasih-Mu dan menjadi terang yang bersinar di tengah kegelapan dunia.

PERTANYAAN:

  1. Apakah prinsip yang penting di dalam pernikahan Kristen?

www.Waters-of-Life.net

Page last modified on July 28, 2023, at 05:22 AM | powered by PmWiki (pmwiki-2.3.3)